Lokakarya Nasional tentang Praktik Rumah Aman:
Mendukung Pertukaran Pengetahuan dan Pengalaman antar Praktisi
Kebebasan Bergerak Bagi Korban TPPO: Hukum Kebijakan dan Praktik Rumah Aman di Kawasan ASEAN
28 Januari 2022

Kegiatan di hari kedua berfokus kepada bagaimana sebaiknya penanganan korban TPPO kegiatan hari kedua berfokus pada pelaksanaan rumah aman dalam penanganan korban TPPO (karena penelitian ini tidak hanya berkonsentrasi di ASEAN) dan bagaimana bentuk rumah aman yang layak bagi penanganan korban TPPO.
Dari temuan yang disampaikan dalam paparan, terdapat 3 jenis praktik penahanan. Pertama, Penahanan imigrasi diberikan kepada korban yang tidak berdokumen atau tidak teridentifikasi, atau korban yang tidak bisa Kembali ke rumah mereka dikarenakan ketiadaan alternatif akomodasi; kedua adalah penahanan hukuman diterapkan kepada korban yang teridentifikasi sebagai pelaku alih-alih korban, dan ditempatkan di tahanan/penjara atas tidak pidana yang dilakukan selama diperdagangkan; ketiga Rumah Aman tertutup. Istilah ini tidak terlalu awam dikarenakan bentuk praktiknya yang sedikit berbeda. Rumah aman tertutup terkesan seperti rumah tahanan dikarenakan modelnya yang dilengkapi pintu gerbang, penjaga, dan dinding tinggi untuk menjaga orang-orang tetap berada di dalam. Jenis praktik rumah aman ini juga membatasi komunikasi dengan orang luar. Korban yang ditempatkan di jenis rumah aman ini adalah korban yang terindikasi akan ‘kabur’ dari rumah aman.
Praktik rumah aman menjadi satu isu tersendiri dalam penanganan korban TPPO di lapangan. Ada beberapa isu yang mengikuti praktik rumah aman, seperti bagaimana pelaksanaannya dari dimensi gender, justifikasi atau pembenaran dalam “menahan” korban di rumah aman tersebut, kompleksitas dalam penanganan masalah, juga rumah aman seperti apa yang dapat dikatakan ‘layak’ untuk menangani korban TPPO.
Pada dasarnya pelayanan rumah aman berdasarkan pada 5p’s (Policy, Protection, Prevention, Prosecution, protection). Pada konteks protection, asumsi ini menjadi salah satu justifikasi untuk menahan korban di shelter seperti pelaku akan menyakiti dan mengancam korban, dan korban perlu dilindungi dari diri mereka sendiri (ditakutkan para korban akan Kembali menjadi korban trafficking Kembali jika tidak ditempatkan di rumah aman.
Rumah aman tertutup menjadi satu rekomendasi dengan diharapkan memberikan beberapa manfaat dalam penanganan kasus TPPO yaitu perlindungan, pendampingan dan penuntutan (karena korban selalu didampingi selama berada di rumah aman diharapkan kesaksian korban akan bekerjasama dengan pihak berwenang.
Namun rumah aman tertutup ini memiliki kelemahan dalam pelaksanaannya. Korban yang tidak diberikan akses terhadap dunia luar, menjadikan rumah aman tertutup ini hampir dapat dikatakan sebagai rumah penahanan dengan segala justifikasinya. Isu lainnya yang perlu ditinjau Kembali dalam pelaksanaan rumah aman tertutup seperti apakah pembatasan ini membentuk pencapaian yang diinginkan; apakah korban merasa aman dan terbantu pada rumah aman tertutup; dan dampak apa yang muncul dari pembatasan kebebasan bergerak terhadap pemulihan dan reintegrasi?
Tahap selanjutnya masuk kedalam perspektif Indonesia terhadap implementasi rumah aman yang ada di Indonesia. Dalam penjelasan oleh Drs. Waskito Budi Kusumom, M.Si, selaku Direktur Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang, Kementerian Sosial Republik Indonesia dan Dr. Margaretha Hanita selaku Wakil Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), DKI Jakarta.
Pada tahap ini, diskus membahas bagaimana implementasi rumah aman dapat terlaksana dengan baik hingga anak dapat terintegrasi Kembali ke masyarakat. Ini berkaitan dengan beberapa isu yang diangkat dalam diskusi ini yaitu; Sirkulasi, anak yang tertangkap Kembali setelah beberapa bulan sebelumnya tertangkap untuk kasus yang sama; isu integrasi; dan pengawasan terhadap rumah anak.
Ada beberapa kompleksitas yang dihadapi dalam pelaksanaan rumah aman bagi korban TPPO di Indonesia. Oleh karena itu memang diperlukan program-program lain dalam menangani isu ini dan tidak hanya bergantung kepada rumah aman. Lalu bagaimana membangun rumah aman yang layak: dalam menanggapi pertanyaan ini salah satu program yang mungkin bisa diimplementasikan dalam rumah aman tersebut adalah terapi. Terapi tidak hanya membantu dalam proses pemulihan korban, tapi juga assessment korban agar dapat membantu korban saat menjalani system peradilan pidana.
Hambatan lainnya adalah bagaimana system dalam mengevaluasi rumah aman, yang juga dihadapi oleh KEMENSOS. Bagaimana mekanismenya jika korban TPPO tersebut mengalami masa perpanjangan dalam pemeriksaan karena ini juga berkaitan dengan anggaran. Karena terbukti dari angka yang didapat, dimana pada tahun 2020 hanya menampung 40% dari rumah aman, dan pada tahun 2021 hanya menampung 28% dari kebutuhan rumah aman. Ini menjadi kendala lain dalam penanganan kasus TPPO dalam konteks ketersediaan rumah aman.
Dalam kegiatan ini, juga mendiskusikan tentang pelaksanaan rumah aman. Baik fungsi dan dampak dari rumah aman tertutup (closed-shelter). Dalam menjawab hal ini ada beberapa poin yang perlu diperhatikan, mengingat model closed-shelter ini hampir mirip dengan rumah penahanan maka perlu dipertimbangkan pula klasifikasi korban yang perlu ditempatkan pada jenis rumah aman seperti ini seperti lingkungan korban yang tidak mendukung. Perlunya pendampingan ekstra mengingat, model rumah aman ini membatasi kontak dengan dunia luar. Lalu apakah bentuk rumah aman ini memiliki aspek baik? Seharusnya memang memberikan dampak yang baik karena juga sudah seharusnya disertakan dengan support system yang memadai, dengan pendekatan yang lebih intens dapat membantu berjalannya system peradilan pidana, bagi pengelola ini menjadi nilai plus untuk mencegah terror dari pelaku atau pihak-pihak lain.
Tantangan apa saja yang dihadapi dalam mengimplementasikan model rumah aman berbasis hak, yang tidak merampas hak-hak kebebasan bergerak atau komunikasi para korban termasuk dalam kondisi pandemic COVID-19. Rumah aman, belum tentu menjadi tempat paling aman bagi korban TPPO. Hal ini dikarenakan beberapa alasan, pertama rumah aman bisa menjadi pemicu trauma bagi korban, kedua pada konteks WNA dengan masalah dokumen rumah aman akan menjadi seperti detensi, dan korban tidak dapat memperoleh pekerjaan karena terhambatnya mobilitas. Ketiga, salah satu alasan utama adalah keterbatasan anggaran. Selain itu, juga terjadinya kasus kejahatan seksual selama di rumah aman.
Pada tema ketiga membahas tentang praktik baik dan pembelajaran yang dapat dipetik dari pelaksanaan rumah aman di Indonesia. Salah satu yang paling penting adalah melakukan kajian dan menggali potensi dari korban agar tetap dapat berdaya (berpenghasilan) sekaligus menjalani proses healing. Beberapa rumah aman yang sudah menjalani program ini adalah seperti (SAKURA di BPRSW, dan Yayasan SAPA di Jawa Barat. Selain itu tidak sedikit Lembaga pendampingan korban yang bekerja di TPPO sehingga jaringannya cukup kuat untuk memperkuat jaringan. Selain itu memperbanyak rumah aman, selain dari rumah aman yang sudah ada seperti woman crisis center, dan Yayasan SAKURA Indonesia.
Implementasinya terhadap Program ECPAT Indonesia
Salah satu isu yang disoroti oleh ECPAT Indonesia adalah bagaimana rumah aman menjamin keamanan pada anak dalam konteks ini korban. Seperti yang disebutkan diatas, rumah aman diadakan untuk membantu proses peradilan pidana, dan memberikan keamanan bagi korban dari ancaman eksternal, juga perlu di highlight adalah ancaman internal. Bagaimana pengurus juga dapat menjamin rasa aman. Hal-hal seperti ini perlu diperhatikan lebih lanjut bahkan diperlukan SOP khusus bagi pengurus rumah aman tersebut. Selain melihat kelebihan dari rumah aman, perlu juga mendalami risiko-risiko yang muncul dari pelaksanaan rumah aman seperti apakah rumah aman tersebut berhasil dalam mengintegrasikan korban untuk Kembali ke komunitasnya, dan bagaimana rumah aman berkontribusi dalam perbaikan kondisi psikis dan fisik korban.